9:07 PM

Kisah-kisah Anak Indigo

Dikutip dari majalah LIBERTY 11-20 April 2005

SUATU hari di paruh Desember 1997. Di dalam tidurnya yang tenang, Andrean Ganie Hendrata tiba-tiba terbangun. Ada semacam ketakutan yang baru dilihatnya. Keringat dingin merembes dari pori-pori kulitnya yang kuning. Wajahnya yang kalem seketika berubah sedih. Kedua pipi bocah berusia enam tahun itu basah oleh air mata. Ia tak kuasa membendung kesedihannya.

Di dalam mimpinya itu, Andrean melihat sebuah kota ingar-bingar. Banyak rumah dan mobil terbakar, tangan-tangan mengepal, perempuan menjerit-jerit, dan kaum pria dipukuli tanpa sebab jelas. Ia tak tahu kapan dan di mana peristiwa dalam mimpinya itu terjadi. Yang pasti, “Mimpi serupa terjadi selama dua minggu berturut-turut,” Lianny Hendranata, ibu Andrean, menuturkan.

Mimpi mengerikan yang bertubi-tubi selama dua pekan itu membuat fisik Andrean makin loyo. Dan, bocah kurus itu akhirnya jatuh sakit. Tapi Lianny menyadari sepenuhnya bahwa anaknya tidak sakit sembarangan. Itu sebabnya, dia tidak membawa anaknya ke dokter. Si ibu justru mengundang pendeta untuk mengobati jiwa anaknya.

Sang pendeta pun datang. Ia membaca doa-doa di tepi pembaringan Andrean. Terasa simpel, tapi berhasil. Sebab, hari-hari berikutnya Andrean tak pernah lagi bermimpi buruk tentang sebuah kota yang tercabik-cabik anarkis. Kesehatannya kembali pulih.

Enam bulan sejak mimpi itu berlalu, Jakarta dilanda kerusuhan hebat. Penjarahan, pembakaran, penganiayaan terjadi pada Mei 1998. Tragedi itu ditayangkan oleh semua stasiun TV. Saat itulah ingatan Andrean kembali “dibangunkan”. Sembari menunjuk ke arah pesawat televisi, ia bilang: “Ma, itu yang aku lihat di mimpiku dulu!”

Sejak lahir, Andrean sudah menunjukkan kemampuan indra keenamnya. Malah, sejak bayi dia terbiasa melihat makhluk yang tak terlihat oleh indra biasa. Setelah besar, kemampuan Andrean makin sempurna. Kadang-kadang ia melihat sebuah benda bisa bergerak sendiri. “TV yang sudah dimatikan tahu-tahu bisa menyala kembali,” kata Andrean, yang kini duduk di kelas I SMP Slamet Riyadi, Cijantung, Jakarta Timur.

Dengan daya kelebihannya itu, oleh orangtuanya, Andrean difoto aura. Dan, hasilnya berbeda dengan anak umumnya. Aura Andrean berwarna nila. Saat ia dites, IQ-nya di atas 120. Itulah beberapa pertanda bahwa si empunya nama masuk dalam kategori anak indigo.
Andrean adalah bungsu dari tiga bersaudara pasangan Ganie Hendranata, 64 tahun, dan Lianny Hendranata, 45 tahun. Sehari-hari Hendranata bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang percetakan. Rupanya, tak hanya Andrean yang indigo. Kedua kakaknya, Imelda, 21 tahun, dan Raymond, 17 tahun, juga sama. Begitu pula Lianny.

Satu keluarga yang terdiri lima orang, empat di antaranya indigo, tentu seru. Mereka bisa bertelepati satu dengan lain. Suatu hari, misalnya, Imelda ingin memiliki sarung tangan warna merah. Tapi harganya mahal. Sang ibu menyarankan agar si sulung mencari sarung tangan yang murah saja. Rupanya, setelah mencari sekian lama, si anak tak berhasil menemukan sarung tangan merah berharga murah.

Tak berhasil bukan berarti memupuskan harapan. Imelda terus berjuang dengan caranya sendiri. Yaitu menciptakan keinginannya melalui otak: “Aku mau sarung tangan warna merah. Nggak tahu gimana caranya; aku harus punya sarung tangan warna merah.”

Beberapa hari kemudian, Raymond yang pulang dari Yogyakarta membawa oleh-oleh berupa sarung tangan warna merah buat kakaknya. “Masak, setiap aku masuk toko, kuping selalu berdengung; ada yang minta sarung tangan merah,” kata Lianny, yang juga terimbas telepati anaknya itu.

Anak-anak berkemampuan indra keenam tentu bukan hal baru. Simak saja film layar lebar bertitel The Sixth Sense, yang beredar tahun 1999. Film ini bercerita tentang anak punya daya linuwih yang diperankan Haley Joel Osment, dan psikolog anak Bruce Willis. Di layar TV juga ada film seri The X-Files (pemeran utamanya Gillian Anderson dan David Duchovny) dan The Profiler (Ally Walker sebagai pemeran utama). Baik film layar lebar maupun film seri televisi itu sangat diminati penonton.

Adapun istilah indigo berasal dari bahasa Spanyol yang berarti nila. Warna ini merupakan kombinasi warna biru dengan ungu. Warna-warna tersebut diidentifikasi lewat cakra di tubuh. “Letak indigo ada di kening, persisnya antara cakra leher yang berwarna biru dengan cakra puncak kepala yang berwarna ungu,” kata Dr. Tb. Erwin Kusuma, SpKJ, psikiater anak dengan pendalaman di bidang kesehatan mental spiritual, kepada GATRA.

Prinsipnya, cakra memiliki spektrum warna mulai merah sampai ungu; seperti spektrum warna pelangi. Cakra leher (ada yang menyebut cakra tenggorokan) yang berwarna biru adalah wilayah yang tertandai berdasarkan penggunaan penalaran dengan optimalisasi fungsi otak. “Indigo berada di atasnya, bersifat spiritual,” ujar Erwin yang juga indigo.

Dengan asumsi tersebut, menurut Erwin, anak indigo bisa ditandai cerdas dan kreatif, karena dia sudah melalui cakra leher yang berwarna biru. Dalam kondisi sudah melewati biru, maka dia masuk dalam kategori indigo, baik secara mental maupun spiritual. Bila difoto aura, seakan-akan tampak memakai serban dengan warna biru. “Hanya saja, saat ia lahir, jasmaninya kecil, tidak sematang mental dan spiritualnya,” Erwin menambahkan.

Ciri-ciri lain yang mudah dikenali adalah punya kemampuan spiritual tinggi. Anak indigo kebanyakan bisa melihat sesuatu yang belum terjadi atau masa lalu. Bisa pula melihat makhluk atau materi-materi halus yang tidak tertangkap oleh indra penglihatan biasa. “Kemampuan spiritual semacam itu masuk dalam wilayah ESP (extra-sensory perception) alias indra keenam,” papar Erwin.

Kemampuan ESP, menurut Erwin, bisa menjelajah ruang dan waktu. Ketika tubuh anak indigo berada di suatu tempat, pada saat bersamaan ia tahu apa yang terjadi di lokasi lain. Itulah yang disebut kemampuan menjelajah ruang. “Ketika dia berbicara sekarang, tentang suatu peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang, ini yang disebut menjelajah waktu,” katanya.

Anak indigo biasanya banyak bertanya, dan orangtuanya akan kewalahan menjawab. Umpamanya, kenapa harus begini, kenapa harus begitu. Dia akan merasa heran untuk beberapa hal, yang dirasa tak masuk akal. “Kenapa harus sekolah berjam-jam?” Erwin mencontohkan pertanyaan seorang anak indigo kepada ibunya.

Jika orangtua tak mengerti bahwa anaknya indigo, umumnya si anak cenderung memberontak, agresif, dan nakal. Tak sedikit yang kemudian bentrok dengan kehendak orangtuanya. “Jika orangtua masih otoriter membatasi aktivitas spiritual anak indigo, si anak pasti akan berontak,” lanjut Erwin. Karena itu, para orangtua mesti menjawab impresi-impresi yang dikemukakan si anak.

Tak hanya psikiater seperti Dr. Erwin yang menangani anak-anak indigo. Spiritualis Leo Lumanto, yang mengasuh acara “Percaya Nggak Percaya” di Antv, sudah enam tahun ini berinteraksi dengan bocah indigo. Saat ini, dia membimbing tiga anak indigo. Bimbingannya tidak berbentuk terapi khusus. Bocah itu hanya sering diajak berdialog saat mengikuti orangtuanya dalam acara pengajian di kediaman Leo, di kawasan Bintaro, Sektor IX, Tangerang, Banten.

Orangtua mereka berkonsultasi ke Leo, umumnya setelah melalui perjalanan panjang dari psikiater sampai ke paranormal. Sikap anak indigo yang terbilang unik menyebabkan orangtua mereka kerap menyangka anak-anak ini hiperaktif sehingga perlu dibawa ke psikiater. Ada juga yang beranggapan anaknya jadi “aneh” karena gangguan dari alam lain. “Dianggap ada yang nempel,” kata Leo.

Berhubung sudah dipersepsikan seperti itu, si anak biasanya dibawa ke paranormal untuk “dibereskan” dari urusan dengan dunia lain yang diakrabinya. Dalam pandangan Leo, anak indigo bukanlah bocah yang ketempelan jin atau sejenisnya. “Ini merupakan kehendak Allah yang tidak bisa kita sangkal,” Leo menyimpulkan.

Selain ciri-ciri yang ditunjukkan Dr. Erwin, menurut Leo, ciri lain anak indigo adalah suka menyendiri. Begitu berada pada suatu situasi atau lingkungan baru, anak indigo akan mencermati keadaan sekelilingnya dengan sangat teliti. Kemampuan mereka mengenal suasana dan individu luar biasa. “Walaupun terkadang mereka terlihat acuh tak acuh, sebenarnya di balik itu mereka paham apa yang sedang terjadi,” papar Leo. “Kepekaan spiritual pada anak indigo benar-benar merupakan hidayah dari Allah,” Leo menegaskan.

Psikolog dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Dra. Sawitri Supardi Sadardjoen, menyarankan kepada para orangtua untuk “menormalkan” anak-anak berdaya linuwih ini. Sawitri justru menyarankan untuk “menumpulkan” kemampuan si anak. Caranya? “Dengan memberi pengertian bahwa apa yang diketahui si anak itu semata-mata faktor kebetulan,” katanya.

Selain karena khawatir si anak tersiksa dengan kelebihan yang dimiliki, Sawitri beralasan bahwa kemampuan itu akan membuat anak menjadi tidak realistis dan malas. “Kalau mereka konsentrasi dengan memusatkan energi, mereka bisa membayangkan soal-soal yang akan keluar dalam ujian. Ini bisa membuat mereka jadi malas belajar,” tutur Sawitri.

Lain lagi pendapat Prof. Dr. dr. H. Soewardi, MPH, SpKJ. Spesialis penyakit jiwa di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta, ini mewanti-wanti bahwa anak-anak indigo mesti disikapi secara hati-hati, terutama oleh lingkungan sosial dan keluarganya. “Sebenarnya gejala tersebut adalah gejala ketidakwajaran,” kata Soewardi kepada Puguh Windrawan dari GATRA.

“Keajaiban” anak indigo itu terjadi, menurut Soewardi, karena ada kesalahan dalam kinerja otaknya. “Lebih tepat dikatakan bahwa sistem kerja otaknya terganggu,” ujarnya. Hal inilah yang menimbulkan ketidakwajaran. “Dalam sistem limbik otak, terutama neurotransmiternya, terganggu. Ini yang harus diupayakan kesembuhannya,” Soewardi menambahkan.

Oleh sebab itu, masih kata Soewardi, anak indigo jangan terlalu diistimewakan. Ia menyarankan agar mereka diperlakukan secara wajar supaya perkembangan jiwanya tidak terganggu. Perlakuan itu, menurut Soewardi, juga bisa mempercepat kinerja otak anak indigo agar berfungsi seperti sedia kala. “Anak indigo itu tidak normal alias sakit,” katanya.

Untuk kesembuhannya, antara lain, dilakukan melalui terapi, termasuk terapi religius. “Terapi melalui agama juga bisa dilakukan,” kata Soewardi. “Jangan disembuhkan melalui cara-cara pengobatan yang aneh-aneh atau di luar medis,” Soewardi mengingatkan.

Pandangan Soewardi itu berbeda dengan Erwin yang menilai anak indigo adalah anugerah Ilahi. Dalam pandangan Erwin, anak-anak indigo pada dasarnya seumur hidup akan indigo terus. Di usia anak-anak, mereka kerap “berontak”. Tapi ketika dewasa, karena sudah bisa menyesuaikan diri, sikap pemberontakannya berkurang. Artinya, “pendampingan” terhadap anak indigo sangat diutamakan, agar mereka bisa tumbuh secara wajar.

Namun, terlepas dari beda pandang dalam menyikapi, dari pengalaman yang ada, anak indigo pada dasarnya punya cita-cita berbuat baik dalam menjalani kehidupan di masyarakat. Modalnya sudah di tangan: punya indra keenam, IQ-nya di atas rata-rata, dan bijaksana. Tinggal memolesnya saja. Dan, itulah yang kini tengah getol dilakukan di Barat. Sekolah untuk anak indigo sudah banyak bertebaran.

Di Indonesia? Itulah yang tengah dipikirkan oleh mereka yang sangat peduli pada indigo, termasuk Dr. Erwin. Jumlah anak indigo di Indonesia mungkin belum mencapai ratusan. Tapi dari yang sedikit itu, jika mendapat bimbingan yang sempurna, diharapkan mereka kelak menjadi pemimpin masa depan yang arif bijaksana, humanis, dan cinta damai. Siapa tahu!

Berbeda, tetapi Bukan Anak “Aneh”

SEPANJANG perjalanan menuju rumah nenek, Ardi, sebut saja begitu, seperti tidak bergerak. Wajahnya pucat pasi. Ia terus menutupi telinganya. Sang ibu tak berani mengusik anak sulungnya.

“Saya sebenarnya heran, kok Ardi nangisnya sampai begitu waktu mendengar kabar ibu saya meninggal. Enggak seperti anak kecil lain yang kehilangan neneknya. Sedih ya sedih, tapi enggak gitu-gitu amat,” ujar Dewi.

BEGITU turun dari mobil, Ardi seperti terkesima melihat sesuatu di pintu masuk. Ketika mencium jenazah neneknya, tiba-tiba ia kembali menutupi telinganya dan tampak ketakutan. Pandangannya terus menuju ke luar pintu. Setelah itu Ardi mengatakan kepalanya sakit, dan tidak ikut ke makam.

Menjelang tengah malam, Ardi menanyakan apakah ibunya mendengar suara petir siang tadi. Sang ibu menjawab, “Tidak.” “Masak Mama enggak dengar, kan keras sekali dan terus- terusan, Ma,” kata Dewi menirukan ucapan Ardi saat itu. “Sehabis itu Ardi menceritakan semuanya,” lanjut Dewi. Selain petir, Ardi melihat burung besar di pintu rumah sang nenek. “Burung itu enggak pergi-pergi,” ujar Ardi seperti ditirukan Dewi.

Saat mencium neneknya, Ardi melihat sang nenek berjalan menuju sebuah gerbang. Saat itu Ardi mendengar suara petir lagi, yang lebih keras dari sebelumnya, dan ia menyaksikan neneknya melangkah melewati gerbang, terus berjalan menuju tempat yang ia katakan “indah sekali”.

Peristiwa itu bukan yang pertama, sehingga Dewi dan suaminya tidak lagi terkejut mendengar penuturan anak mereka. “Dia sering melihat macam- macam, tetapi biasanya diam. Ia hanya mau berbicara sesudahnya, pelan-pelan dan hanya kepada orang tertentu,” sambung Dewi.

Usia Ardi kini menjelang 10 tahun. Di sekolah ia termasuk cerdas. IQ-nya antara 125-130. “Tapi gurunya bilang ia suka bengong di kelas,” sambung Dewi. Kepada ibunya, ia bercerita melihat macam-macam di sekolah, yang tidak bisa dilihat orang lain, di antaranya anak tanpa anggota badan, dan ia merasa sangat kasihan.

Suatu hari saat belajar di rumah ia tersenyum. Ketika ditanya oleh sang ibu, ia mengatakan ada anak persis sekali dengan dirinya. Hari berikutnya ia bercerita, anak itu datang di sekolahnya. Ketika ditanya di mana ia tinggal, anak itu menjawab, “Di sana,” sambil telunjuknya menunjuk ke arah atas. “Ada apa di sana?” tanya Ardi. Anak itu menjawab, “Ada orang gede- gede buanget. Anak itu omongnya juga medhok lho Ma, kayak aku, persis,” tutur Ardi seperti diceritakan kembali oleh Dewi. Tentu tak ada orang lain melihat “anak itu” kecuali Ardi.

Dewi dan suaminya memahami apa yang terjadi pada Ardi dan juga adiknya. Beberapa anggota keluarganya juga memiliki kepekaan lebih dibandingkan dengan orang kebanyakan. Pada Ardi hal itu sudah terdeteksi saat masih bayi. “Kalau dengar suara azan, Ardi tampak mendengarkan dengan penuh konsentrasi,” kenang Dewi. Menjelang usia 1,5 tahun, Ardi membaca kalimat syahadat secara sambung-menyambung seperti wirid. Sesudah bisa jalan, sebelum usia dua tahun, ia mulai mengambil sajadah sendiri, memakai sarung sendiri dan membuat gerakan seperti orang shalat, meskipun bukan waktu shalat.

Toh tingkah laku Ardi membuat Dewi merasa agak risau. “Ia melihat dan mendengar apa saja yang orang lain enggak bisa lihat dan enggak bisa dengar,” katanya. Ia tidak menceritakan situasi anaknya itu pada setiap orang di luar keluarga. “Kalau enggak percaya bisa-bisa anak itu dianggap berkhayal,” lanjutnya.

Dewi tidak mengecap anaknya berkhayal, karena dalam beberapa hal ia juga memiliki kepekaan itu, meski hanya sampai tingkat tertentu. “Suatu sore, sehabis shalat, saya merasa ada bayangan putih. Ardi rupanya juga melihat karena ia tersenyum. Dia bilang, ‘Ma, ada yang ngikutin, perempuan. Tapi orangnya baik sekali.’ Ketika saya tanya siapa, Ardi tidak menjawab.”

Suatu hari, Dewi membaca majalah yang menulis tentang tanda-tanda anak indigo. “Lha saya pikir kok persis sekali sama anak saya. Lalu saya berusaha menemui dr Erwin di Klinik Prorevital.”

ANAK-ANAK dengan kemampuan seperti Ardi bukan hal yang baru di dunia, tetapi fenomenanya semakin jelas 20 tahun terakhir ini. Beberapa film mengisahkan kemampuan anak dan manusia dewasa dengan kemampuan semacam itu, di antaranya The Sixth Sense, dan film-film seri seperti The X Files.

Menurut dr Tubagus Erwin Kusuma SpKj, psikiater yang menaruh perhatian pada masalah spiritualitas, anak-anak seperti itu semakin muncul di mana-mana di dunia, melewati batas budaya, agama, suku, etnis, kelompok, dan batas apa pun yang dibuat manusia untuk alasan-alasan tertentu.

Fenomena itu menarik perhatian banyak pihak, karena dalam paradigma psikologi manusia, anak-anak itu dianggap “aneh”. Pandangan ini muncul karena selama ini kemanusiaan telanjur dianggap sebagai hal yang statis, tak pernah berubah. “Padahal, semua ciptaan Tuhan selalu berubah,” ujar dr Erwin.

Sebagai hukum, masyarakat cenderung memahami evolusi tapi hanya untuk yang berkaitan dengan masa lalu. “Fenomena munculnya anak-anak dengan kemampuan seperti itu merupakan bagian dari evolusi kesadaran baru manusia, yang secara perlahan muncul di bumi, terutama sejak awal milenium spiritual sekitar tahun 2000 yang disebut Masa Baru, The New Age, atau The Aquarian Age. Semua ini merupakan wujud kebesaran Allah,” tegas Erwin.

Fisik anak-anak indigo sama dengan anak-anak lainnya, tetapi batinnya tua (old soul) sehingga tak jarang memperlihatkan sifat orang yang sudah dewasa atau tua. Sering kali ia tak mau diperlakukan seperti anak kecil dan tak mau mengikuti tata cara maupun prosedur yang ada. Kebanyakan anak indigo juga memiliki indra keenam yang lebih kuat dibanding orang biasa. Kecerdasannya di atas rata-rata.

Istilah “indigo” berasal dari bahasa Spanyol yang berarti nila. Warna ini merupakan kombinasi biru dan ungu, diidentifikasi melalui cakra tubuh yang memiliki spektrum warna pelangi, dari merah sampai ungu. Istilah “anak indigo” atau indigo children juga merupakan istilah baru yang ditemukan konselor terkemuka di AS, Nancy Ann Tappe.

Pada pertengahan tahun 1970-an Nancy meneliti warna aura manusia dan memetakan artinya untuk menandai kepribadiannya. Tahun 1982 ia menulis buku Understanding Your Life Through Color. Penelitian lanjutan untuk mengelompokkan pola dasar perangai manusia melalui warna aura mendapat dukungan psikiater Dr McGreggor di San Diego University.

Dalam klasifikasi yang baru itu Nancy membahas warna nila yang muncul kuat pada hampir 80 persen aura anak-anak yang lahir setelah tahun 1980. Warna itu menempati urutan keenam pada spektrum warna pelangi maupun pada deretan vertikal cakra, dalam bahasa Sansekerta disebut cakra ajna, yang terletak di dahi, di antara dua alis mata.

“Itulah mata ketiga,” ujar dr Erwin. The third eye itu, menurut dia, berkaitan dengan hormon hipofisis (pituary body) dan hormon epificis (pineal body) di otak. Dalam peta klasifikasi yang dibuat Nancy, manusia dengan aura dominan nila dikategorikan sebagai manusia dengan intuisi dan imajinasi sangat kuat.

“Letak indigo ada di sini,” jelas Tommy Suhalim sambil menjalankan perangkat teknologi pembaca aura, aura video station (AVS). Alat yang protipenya dibuat oleh Johannes R Fisslinger dari Jerman tahun 1997 ini lebih canggih dibandingkan perangkat teknologi serupa yang ditemukan Seymon Kirlian tahun 1939, dan Aura Camera 6000 yang dibuat Guy Coggins tahun 1992 berdasarkan Kirlian Photography.

Tom menunjukkan titik berkedip berwarna nila tua, sangat jelas di antara kedua mata Vincent Liong (19). Murid kelas dua tingkat SLTA di Gandhi International School itu sudah menulis buku pada usia 14 tahun dan bukunya diterbitkan oleh penerbit terkemuka di Indonesia. Buku Berlindung di Bawah Payung itu merupakan refleksi, berdasarkan kejadian sehari- hari yang sangat sederhana.

Pergulatan pemikiran yang muncul dalam tulisan-tulisannya kemudian seperti datang dari pemikiran orang bijak, dan menjadi bahan pembicaraan. Pemilihan angle-nya tidak biasa, dan hampir tidak terpikir bahkan oleh orang dewasa yang menekuni bidang itu. Belakangan ia banyak menulis soal spiritual, namun tetap dilihat dalam konteks ilmiah dan rasional.

Mungkin karena minatnya yang sangat besar pada dunia tulis-menulis, Vincent tidak terlalu berminat dengan beberapa mata pelajaran di sekolahnya. Orangtuanya yang tergolong demokratis pun sering tidak mengerti apa yang diingini anaknya yang ber-IQ antara 125-130 ini. “Dia keras kepala. Kemarin ia tidak mau ikut ujian matematika,” sambung Liong, ayahnya.

Vincent mengaku “takut” pada matematika sejak kecil, tapi mengaku disiplin pada aturan mainnya sendiri. “Sejak kecil aku bingung pada dogma satu tambah satu sama dengan dua. Aku juga bingung dengan ilmu ekonomi karena dalam realitas sosial berbeda,” tegas Vincent.

Toh sang ibu sudah menengarai keistimewaan anaknya sejak bayi. Waktu SD, Vincent biasa bergaul dengan gurunya, dan orang-orang setua gurunya. Pertanyaannya banyak dan sangat kritis. “Saya langganan dipanggil guru bukan hanya karena anak itu sulit. tetapi juga karena karangan-karangannya membuat guru-gurunya kagum,” ujar Ny Ina.

Vincent sudah menulis tentang teleskop berdasarkan pengamatan dan referensi pada usia SD. “Di rumah ia membawa ensiklopedi yang besar- besar itu ke kamarnya,” ujar Ny Ina. “Kamarnya kayak kapal pecah. Tidurnya dini hari karena menulis,” sambung Liong. “Saya sering meminta agar ia menyelesaikan pendidikan formalnya dulu, karena bagaimanapun itu sangat penting,” lanjut Liong.

“PENDIDIKAN formal sangat penting karena anak-anak indigo harus membumikan ’ilmu langitnya’ untuk kebaikan manusia. Bukan sebaliknya,” ujar Rosini (40). Ia menganjurkan, agar anak-anak yang memiliki kemampuan berbeda itu tidak dieksploitasi oleh orangtua dan lingkungannya untuk mencari nomor togel atau menjadi dukun atau klenik. “Bukan itu misi anak-anak indigo,” tegas Rosi.

Anak-anak itu sebenarnya punya mekanisme pertahanannya sendiri. Annisa, misalnya. Gadis kecil berusia 4,5 tahun ini tiba-tiba berbicara dalam bahasa Inggris beraksen Amerika begitu ia bisa bicara pada usia 2,5 tahun. Padahal orangtuanya tidak berbahasa Inggris dengan baik. Meski tampak menggemaskan, dalam banyak hal ia berbicara dan bersikap seperti orang dewasa, bahkan menyebut dirinya “orang Amerika” karena “datang dari Amerika”. Nisa menyebut ibunya, Yenny bukan dengan panggilan mama.

Kemampuan melihat dan mendengar Nisa sangat tajam pada pukul 23.00 sampai dini hari. Tetapi kalau secara sengaja diminta memperlihatkan kemampuannya, ia akan menolak dengan tidak memperlihatkan kemampuan itu sehingga ia tampak seperti anak-anak lainnya,” ujar Yenny. Kata sang ibu, Nisa tidak mudah bersalaman dengan orang. Ia seperti tahu orang yang suka pergi ke dukun atau memakai jimat. Namun sebagai anak-anak Nisa juga suka menyanyi dan bermain.

Jenis dan kemampuan anak indigo bermacam-macam. Meski memiliki kepekaan yang kuat, kepekaan mendengar dan melihat sesuatu yang tidak didengar dan dilihat orang kebanyakan, berbeda-beda gradasinya.

Menurut Lanny Kuswandi, fasilitator program relaksasi di Klinik Prorevital, mengutip dr Erwin, “Ada tipe humanis, tipe konseptual, tipe artis, dan tipe interdimensional. Pendekatan terhadap mereka juga berbeda-beda,” sambungnya.

Namun karena dianggap “aneh”, tak jarang diagnosisnya keliru dan penanganannya lebih bersandar pada obat-obatan. “Ada anak indigo yang dianggap autis, ADHD (Attention-Deficit Hyperatictve Disorder) maupun ADD (Attention Deficit Disorder). Padahal tanda-tandanya berbeda,” sambung Erwin. Kekeliruan semacam ini juga terjadi di AS, karena banyak ahli menganggap anak-anak itu menderita “gangguan” yang harus dihilangkan.

“Saya beberapa kali pergi ke psikolog dan psikiater,” ujar Rosini. Profesional di suatu perusahaan swasta terkemuka itu suatu saat dalam hidupnya merasa sangat terganggu oleh suara-suara itu. Orangtuanya juga merasa anaknya “aneh” karena kerap memberi tahu peristiwa yang akan terjadi, tetapi menolak mengakui kemampuan anak itu.

“Dalam tes yang dibuat oleh mereka, saya dinyatakan sehat. Tidak ada gangguan apa pun,” sambung Rosini. Sebaliknya, ia melihat psikolog dan psikiater yang melakukan tes terhadap dirinyalah yang bermasalah. Ia juga pernah mencoba mencari paranormal untuk membuang kemampuannya itu, meski suara-suara itu mengatakan “jangan”.

Akhirnya Rosi berdamai dengan dirinya dan mengembalikan kemampuannya sebagai wujud kebesaran Allah SWT, dengan berusaha untuk terus mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Karena itu ia ingin membantu orangtua dengan anak-anak indigo agar anak- anak itu tidak melewati masa pencarian yang rumit seperti dirinya.

Indigo children, menurut Erwin, bukan fenomena terakhir, karena akan lahir anak-anak yang disebut sebagai crystal children. “Anak-anak dengan warna dasar aura, bening dan lengkap. Mereka lahir dari orangtua yang spiritual.”

Mungkin Cita (9) termasuk anak itu. Keluarganya, sampai nenek-neneknya, spiritualis. Ia bisa melihat sinar dan malaikat di rumah ibadah, khususnya ketika orang-orang sedang berdoa. Ini hanya salah satu kemampuan “melihat” milik anak yang selalu mendapat rangking di sekolah itu. Cita tahu kapan hujan akan turun hari itu dan sebaliknya, meskipun mendung sudah menggantung.

“Ia menjadi teman dan penasihat kami, bapak-ibunya. Di sekolah, di keluarga besar kami, terasa ia menebarkan aura kedamaian dan kebahagiaan. Anak itu sangat tenang dan pemaaf,” ujar ibunya, Ny Dita.

0 comments: